Sabtu, 30 Maret 2013

Kesenin ini merupakan kesenian asli dari arab. Bernafaskan Islam.Keberadaan seni hadrah yang tergabung dalam Ikatan Seni Hadrah Indonesia (ISHARI) semakin terpinggirkan oleh zaman. Seni pembacaan salawat yang diiringi dengan terbang (rebana) dan gerakan tarian dari puluhan laki-laki (rodat) sudah jarang ditemui di tengah kota. Keberadaanya lebih banyak didesa-desa yang masih membudayakan seni hadrah dengan para rodatnya.
Namun kesenian ini saat ini mulai banyak di kembangkan oleh pemerintah terutama melalui pondok pesabtren yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Untuk dapat merangkul penggemar dari kalangan muda maka kesenia ini mulai dicampur dengan perangkat musik modern, misalkan organ elektrik. Meskipun ditambah dengan organ elektrik akan tetapi perangkat tradisionalnya lebih dominan. Modifikasi ini semata mata untuk merangkul penggemar dari kalangan muda.
Selain menggunakan penambahan perangkat elektrik untuk menambah perbendaharaan melodi juga pada saat ini banyak lagu kagu yang sedang trend mulai digunakan pada seni Hadrah. Lagu yang sedang trend saat ini digubah liriknya dengan menggunakan bahasa arab.
Pemain hadrah juga mengalami perubahan, tidak hanya di lakukan oleh kaum lelaki namun saat ini mulai banyak di dominasi oleh kaum hawa.

Kesenian kadroh/hadrah

Kesenin ini merupakan kesenian asli dari arab. Bernafaskan Islam.Keberadaan seni hadrah yang tergabung dalam Ikatan Seni Hadrah Indonesia (ISHARI) semakin terpinggirkan oleh zaman. Seni pembacaan salawat yang diiringi dengan terbang (rebana) dan gerakan tarian dari puluhan laki-laki (rodat) sudah jarang ditemui di tengah kota. Keberadaanya lebih banyak didesa-desa yang masih membudayakan seni hadrah dengan para rodatnya.
Namun kesenian ini saat ini mulai banyak di kembangkan oleh pemerintah terutama melalui pondok pesabtren yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Untuk dapat merangkul penggemar dari kalangan muda maka kesenia ini mulai dicampur dengan perangkat musik modern, misalkan organ elektrik. Meskipun ditambah dengan organ elektrik akan tetapi perangkat tradisionalnya lebih dominan. Modifikasi ini semata mata untuk merangkul penggemar dari kalangan muda.
Selain menggunakan penambahan perangkat elektrik untuk menambah perbendaharaan melodi juga pada saat ini banyak lagu kagu yang sedang trend mulai digunakan pada seni Hadrah. Lagu yang sedang trend saat ini digubah liriknya dengan menggunakan bahasa arab.
Pemain hadrah juga mengalami perubahan, tidak hanya di lakukan oleh kaum lelaki namun saat ini mulai banyak di dominasi oleh kaum hawa.

Jumat, 29 Maret 2013

.Kota Kendal Terletak di barat Semarang. Di Propinsi Jawa Tengah dan di lalui jalur utama di pulau Jawa yang biasanya di sebut dengan jalur Pntura.Nama Kendal diambil dari nama sebuah pohon yakni Pohon Kendal. Pohon yang berdaun rimbun itu sudah dikenal sejak masa Kerajaan Demak pada tahun 1500 - 1546 M yaitu pada masa Pemerintahan Sultan Trenggono. Pada awal pemerintahannya tahun 1521 M, Sultan Trenggono pernah memerintah Sunan Katong untuk memesan Pusaka kepada Pakuwojo.
Peristiwa yang menimbulkan pertentangan dan mengakibatkan kematian itu tercatat dalam Prasasti. Bahkan hingga sekarang makam kedua tokoh dalam sejarah Kendal yang berada di Desa Protomulyo Kecamatan Kaliwungu itu masih dikeramatkan masyarakat secara luas. Menurut kisah, Sunan Katong pernah terpana memandang keindahan dan kerindangan pohon Kendal yang tumbuh di lingkungan sekitar. Sambil menikmati pemandangan pohon Kendal yang nampak "sari" itu, Beliau menyebut bahwa di daerah tersebut kelak bakal disebut "Kendalsari". Pohon besar yang oleh warga masyarakat disebut-sebut berada di pinggir Jln Pemuda Kendal itu juga dikenal dengan nama Kendal Growong karena batangnya berlubang atau growong.
Dari kisah tersebut diketahui bahwa nama Kendal dipakai untuk menyebutkan suatu wilayah atau daerah setelah Sunan Katong menyebutnya. Kisah penyebutan nama itu didukung oleh berita-berita perjalanan Orang-orang Portugis yang oleh Tom Peres dikatakan bahwa pada abad ke 15 di Pantai Utara Jawa terdapat Pelabuhan terkenal yaitu Semarang, Tegal dan Kendal. Bahkan oleh Dr. H.J. Graaf dikatakan bahwa pada abad 15 dan 16 sejarah Pesisir Tanah Jawa itu memiliki yang arti sangat penting.

Sejarah Berdirinya Kabupaten Kendal

Adalah seorang pemuda bernama Joko Bahu putra dari Ki Ageng Cempaluk yang bertempat tinggal di Daerah Kesesi Kabupaten Pekalongan. Joko Bahu dikenal sebagai seorang yang mencintai sesama dan pekerja keras hingga Joko Bahu pun berhasil memajukan daerahnya. Atas keberhasilan itulah akhirnya Sultan Agung Hanyokrokusumo mengangkatnya menjadi Bupati Kendal bergelar Tumenggung Bahurekso. Selain itu Tumenggung Bahurekso juga diangkat sebagai Panglima Perang Mataram pada tanggal 26 Agustus 1628 untuk memimpin puluhan ribu prajurit menyerbu VOC di Batavia. Pada pertempuran tanggal 21 Oktober 1628 di Batavia Tumenggung Bahurekso beserta ke dua putranya gugur sebagai Kusuma Bangsa. Dari perjalanan Sang Tumenggung Bahurekso memimpin penyerangan VOC di Batavia pada tanggal 26 Agustus 1628 itulah kemudian dijadikan patokan sejarah lahirnya Kabupaten Kendal.
Perkembangan lebih lanjut dengan momentum gugurnya Tumenggung Bahurekso sebagi penentuan Hari jadi dinilai beberapa kalangan kurang tepat. Karena momentum tersebut merupakan sejarah kelam bagi seorang tokoh yang bernama Bahurekso. Sehingga bila tanggal tersebut diambil sebagai momentum hari jadi dikhawatirkan akan membawa efek psikologis. Munculnya istilah "gagal dan gugur" dalam mitologi Jawa dikawatirkan akan membentuk bias-bias kejiwaan yang berpengaruh pada perilaku pola rasa, cipta dan karsa warga Kabupaten Kendal, sehingga dirasa kurang tepat jika dijadikan sebagai pertanda awal mula munculnya Kabupaten Kendal.
Dari Hasil Seminar yang diadakan tanggal 15 Agustus 2006, dengan mengundang para pakar dan pelaku sejarah, seperti Prof. Dr. Djuliati Suroyo ( guru besar Fakultas sastra Undip Semarang ), Dr. Wasino, M.Hum ( dosen Pasca Sarjana Unnes ) H. Moenadi ( Tokoh Masyarakat Kendal dengan moderator Dr. Singgih Tri Sulistiyono. serta setelah diadakan penelitian dan pengkajian secara komprehensip menyepakati dan menyimpulkan bahwa momentum pengangkatan Bahurekso sebagai Bupati Kendal, dijadikan titik tolak diterapkannya hari jadi. Pengangkatan bertepatan pada 12 Rabiul Awal 1014 H atau 28 Juli 1605. Tangal tersebut persis hari Kamis Legi malam jumat pahing tahun 1527 Caka. Penentuan Hari Jadi ini selanjutnya ditetapkan melalui Peraturan Daerah ( PERDA ) Kabupaten Kendal Nomor 20 Tahun 2006, tentang Penetapan Hari Jadi Kabupaten Kendal ( Lembaran Daerah no 20 Tahun 2006 Seri E nomor 15 )


Sejarah kota Kendal

.Kota Kendal Terletak di barat Semarang. Di Propinsi Jawa Tengah dan di lalui jalur utama di pulau Jawa yang biasanya di sebut dengan jalur Pntura.Nama Kendal diambil dari nama sebuah pohon yakni Pohon Kendal. Pohon yang berdaun rimbun itu sudah dikenal sejak masa Kerajaan Demak pada tahun 1500 - 1546 M yaitu pada masa Pemerintahan Sultan Trenggono. Pada awal pemerintahannya tahun 1521 M, Sultan Trenggono pernah memerintah Sunan Katong untuk memesan Pusaka kepada Pakuwojo.
Peristiwa yang menimbulkan pertentangan dan mengakibatkan kematian itu tercatat dalam Prasasti. Bahkan hingga sekarang makam kedua tokoh dalam sejarah Kendal yang berada di Desa Protomulyo Kecamatan Kaliwungu itu masih dikeramatkan masyarakat secara luas. Menurut kisah, Sunan Katong pernah terpana memandang keindahan dan kerindangan pohon Kendal yang tumbuh di lingkungan sekitar. Sambil menikmati pemandangan pohon Kendal yang nampak "sari" itu, Beliau menyebut bahwa di daerah tersebut kelak bakal disebut "Kendalsari". Pohon besar yang oleh warga masyarakat disebut-sebut berada di pinggir Jln Pemuda Kendal itu juga dikenal dengan nama Kendal Growong karena batangnya berlubang atau growong.
Dari kisah tersebut diketahui bahwa nama Kendal dipakai untuk menyebutkan suatu wilayah atau daerah setelah Sunan Katong menyebutnya. Kisah penyebutan nama itu didukung oleh berita-berita perjalanan Orang-orang Portugis yang oleh Tom Peres dikatakan bahwa pada abad ke 15 di Pantai Utara Jawa terdapat Pelabuhan terkenal yaitu Semarang, Tegal dan Kendal. Bahkan oleh Dr. H.J. Graaf dikatakan bahwa pada abad 15 dan 16 sejarah Pesisir Tanah Jawa itu memiliki yang arti sangat penting.

Sejarah Berdirinya Kabupaten Kendal

Adalah seorang pemuda bernama Joko Bahu putra dari Ki Ageng Cempaluk yang bertempat tinggal di Daerah Kesesi Kabupaten Pekalongan. Joko Bahu dikenal sebagai seorang yang mencintai sesama dan pekerja keras hingga Joko Bahu pun berhasil memajukan daerahnya. Atas keberhasilan itulah akhirnya Sultan Agung Hanyokrokusumo mengangkatnya menjadi Bupati Kendal bergelar Tumenggung Bahurekso. Selain itu Tumenggung Bahurekso juga diangkat sebagai Panglima Perang Mataram pada tanggal 26 Agustus 1628 untuk memimpin puluhan ribu prajurit menyerbu VOC di Batavia. Pada pertempuran tanggal 21 Oktober 1628 di Batavia Tumenggung Bahurekso beserta ke dua putranya gugur sebagai Kusuma Bangsa. Dari perjalanan Sang Tumenggung Bahurekso memimpin penyerangan VOC di Batavia pada tanggal 26 Agustus 1628 itulah kemudian dijadikan patokan sejarah lahirnya Kabupaten Kendal.
Perkembangan lebih lanjut dengan momentum gugurnya Tumenggung Bahurekso sebagi penentuan Hari jadi dinilai beberapa kalangan kurang tepat. Karena momentum tersebut merupakan sejarah kelam bagi seorang tokoh yang bernama Bahurekso. Sehingga bila tanggal tersebut diambil sebagai momentum hari jadi dikhawatirkan akan membawa efek psikologis. Munculnya istilah "gagal dan gugur" dalam mitologi Jawa dikawatirkan akan membentuk bias-bias kejiwaan yang berpengaruh pada perilaku pola rasa, cipta dan karsa warga Kabupaten Kendal, sehingga dirasa kurang tepat jika dijadikan sebagai pertanda awal mula munculnya Kabupaten Kendal.
Dari Hasil Seminar yang diadakan tanggal 15 Agustus 2006, dengan mengundang para pakar dan pelaku sejarah, seperti Prof. Dr. Djuliati Suroyo ( guru besar Fakultas sastra Undip Semarang ), Dr. Wasino, M.Hum ( dosen Pasca Sarjana Unnes ) H. Moenadi ( Tokoh Masyarakat Kendal dengan moderator Dr. Singgih Tri Sulistiyono. serta setelah diadakan penelitian dan pengkajian secara komprehensip menyepakati dan menyimpulkan bahwa momentum pengangkatan Bahurekso sebagai Bupati Kendal, dijadikan titik tolak diterapkannya hari jadi. Pengangkatan bertepatan pada 12 Rabiul Awal 1014 H atau 28 Juli 1605. Tangal tersebut persis hari Kamis Legi malam jumat pahing tahun 1527 Caka. Penentuan Hari Jadi ini selanjutnya ditetapkan melalui Peraturan Daerah ( PERDA ) Kabupaten Kendal Nomor 20 Tahun 2006, tentang Penetapan Hari Jadi Kabupaten Kendal ( Lembaran Daerah no 20 Tahun 2006 Seri E nomor 15 )


Kamis, 28 Maret 2013

Pada akhir abad ke XIII sekitar tahun 1292 Masehi di pulau Jawa terjadi kevakuman dari pemerintah kerajaan yang ada. Hal ini dikarenakan Kerajaan Pajajaran mulai runtuh, sedangkan kerajaan Singasari mulai runtuh. Kerajaan Majapahit pada waktu itu belum berdiri.

Sejarah Kota Pati

Pada akhir abad ke XIII sekitar tahun 1292 Masehi di pulau Jawa terjadi kevakuman dari pemerintah kerajaan yang ada. Hal ini dikarenakan Kerajaan Pajajaran mulai runtuh, sedangkan kerajaan Singasari mulai runtuh. Kerajaan Majapahit pada waktu itu belum berdiri.

Jumat, 22 Maret 2013

Kabupaten rembang berada di pesisir pulau utara pulau Jawa. berada di wilayah Jawa Tengah bagian utara dan timur.

Sejarah kota rembang

Kabupaten rembang berada di pesisir pulau utara pulau Jawa. berada di wilayah Jawa Tengah bagian utara dan timur.

Rabu, 20 Maret 2013



SEJARAH KOTA BLORA DAN PERKEMBANGANNYA
Alkisah menurut cerita hikayat rakyat Blora berasal dari kata BELOR yang berarti Lumpur, kemudian berkembang menjadi mbeloran yang akhirnya sampai sekarang lebih dikenal dengan nama BLORA. Secara etimologi Blora berasal dari kata WAI + LORAH. Wai berarti air, dan Lorah berarti jurang atau tanah rendah. Dalam bahasa Jawa sering terjadi pergantian atau pertukaran huruf W dengan huruf B, tanpa menyebabkan perubahan arti kata.Sehingga seiring dengan perkembangan zaman kata WAILORAH menjadi BAILORAH, dari BAILORAH menjadi BALORA dan kata BALORA akhirnya menjadi BLORA. Jadi nama BLORA berarti tanah rendah berair, ini dekat sekali dengan pengertian tanah berlumpur.

Blora Era Kerajaan
Blora dibawah Kadipaten Jipang.Blora di bawah Pemerintahan Kadipaten Jipang pada abad XVI, yang pada saat itu masih dibawah pemerintahan Demak. Adipati Jipang pada saat itu bernama Aryo Penangsang, yang lebih dikenal dengan nama Aria Jipang. Daerah kekuasaan meliputi : Pati, Lasem, Blora, dan Jipang sendiri. Akan tetapi setelah Jaka Tingkir (Hadiwijaya) mewarisi tahta Demak pusat pemerintahan dipindah ke Pajang. Dengan demikian Blora masuk Kerajaan Pajang.

Blora dibawah Kerajaan Mataram
Kerajaan Pajang tidak lama memerintah, karena direbut oleh Kerajaan Mataram yang berpusat di Kotagede Yogyakarta. Blora termasuk wilayah Mataram bagian Timur atau daerah Bang Wetan. Pada masa pemerintahan Paku Buwana I (1704-1719 ) daerah Blora diberikan kepada puteranya yang bernama Pangeran Blitar dan diberi gelar Adipati. Luas Blora pada saat itu 3.000 karya (1 karya = ¾ hektar ). Pada tahun 1719-1727 Kerajaan Mataram dipimpin oleh Amangkurat IV, sehingga sejak saat itu Blora berada di bawah pemerintahan Amangkurat IV.

Blora di Jaman Perang Mangkubumi (tahun 1727 - 1755)
Pada saat Mataram di bawah Paku Buwana II (1727-1749) terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Mangku Bumi dan Mas Sahid, Mangku Bumi berhasil menguasai Sukawati, Grobogan, Demak, Blora, dan Yogyakarta. Akhirnya Mangku Bumi diangkat oleh rakyatnya menjadi Raja di Yogyakarta. Berita dari Babad Giyanti dan Serat Kuntharatama menyatakan bahwa Mangku Bumi menjadi Raja pada tanggal 1 Sura tahun Alib 1675, atau 11 Desember 1749. Bersamaan dengan diangkatnya Mangku Bumi menjadi Raja, maka diangkat pula para pejabat yang lain, diantaranya adalah pemimpin prajurit Mangkubumen, Wilatikta, menjadi Bupati Blora.

Blora dibawah Kasultanan
Perang Mangku Bumi diakhiri dengan perjanjian Giyanti, tahun 1755, yang terkenal dengan nama palihan negari, karena dengan perjanjian tersebut Mataram terbagi menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Surakarta di bawah Paku Buwana III, sedangkan Yogyakarta di bawah Sultan Hamengku Buwana I. Di dalam Palihan Negari itu, Blora menjadi wilayah Kasunanan sebagai bagian dari daerah Mancanegara Timur, Kasunanan Surakarta. Akan tetapi Bupati Wilatikta tidak setuju masuk menjadi daerah Kasunanan, sehingga beliau pilih mundur dari jabatannya

Blora sebagai Kabupaten
Sejak zaman Pajang sampai dengan zaman Mataram Kabupaten Blora merupakan daerah penting bagi Pemerintahan Pusat Kerajaan, hal ini disebabkan karena Blora terkenal dengan hutan jatinya. Blora mulai berubah statusnya dari apanage menjadi daerah Kabupaten pada hari Kamis Kliwon, tanggal 2 Sura tahun Alib 1675, atau tanggal 11 Desember 1749 Masehi, yang sampai sekarang dikenal dengan HARI JADI KABUPATEN BLORA. Adapun Bupati pertamanya adalah WILATIKTA.

CERITA dan LEGEND
Alkisah, bertuturlah H.J. De Graaf dan TH. Pigeaud, dalam bukunya, “Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI” (De Eerte Moslimse Vorstendommen op Java, Studiwen Over de Staatkundige Geschiedenis de 15 de en 16 de Eeuw, KITLV, Leiden, 1974). Ia bercerita, daerah Blora di masa lalu disebut Mendang Kamulan. Itulah tempat yang dalam mitos Jawa sering disebut sebagai tempat asal keturunan raja-raja Jawa tertua.


Kedua ilmuwan Belanda itu juga bertutur, daerah dan kerajaan-kerajaan di daerah Blora dan Bojonegoro sekarang berperan penting dalam legenda sejarah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam berbagai riwayat diberitakan bahwa Blora adalah wilayah tempat tinggal seorang pandai dari zaman bahari bernama Arung Bondan. Tampaknya tokoh ini adalah seorang arsitek, nenek moyang para patih dan pejabat raja-raja di zaman kuno. Menurut yang empunya cerita, Mendang Kamulan, sebuah negeri dalam dunia dongeng, terletak di Blora ini. Sedang Bojonegoro konon tempat tinggal seorang putra raja bernama Angling Darma yang mengerti bahasa hewan. Anda pernah mendengar nama Empu Baradah? Empu yang membagi wilayah Daha dan Kediri dengan mengucurkan air kendi saktinya dari udara – menurut legenda – itu juga tinggal di Blora.
(Jangan heran kalau anak-anak cucunya jadi orang-orang cerdik pandai yang kesohor di jagat raya)


Namun Blora dan Bojonegoro juga kaya kisah konflik. Tidak perlu heran manakala tempo hari Pertamina dan ExxonMobile berebut ladang minyak Blok Cepu, yang akhirnya Pertamina kalah. Konflik antara Jaka Tingkir, menantu Sultan Demak Trenggana, dan Arja Penangsang dari Jipang (Cepu sekarang) pada abad ke-16, yang berakhir dengan terbunuhnya Arja Penangsang, sudah sangat terkenal. Pigeaud, dengan sumber yang digunakan Raffles, menulis bahwa Kerajaan Blora di dekat Jipang menjadi daerah perebutan. Senapati Mataram merasa mempunyai hak pemerintahan tertinggi di daerah itu, sedangkan Surabaya menempatkan bupatinya di sana. “Mungkin pendudukan Blora pada tahun 1554 itu merupakan episode dalam peperangan antara Raja Pajang dan keluarga Raja Jipang. Pertempuran memperebutkan Sudah dan Sudu di sebelah barat Bojonegoro merupakan episode serupa,” tulis De Graaf dan Pigeaud.


Dalam sejarah modernnya, Blora dan Bojonegoro juga mencatat suatu konflik yang menarik. Tokoh besar Samin Surosentiko dari Desa Klopoduwur di Blora memusingkan pihak berwenang Hindia Belanda di awal abad ke-20 melalui ajaran-ajaran perlawanan tanpa kekerasan, di antaranya menolak membayar pajak. Ajaran Samin menyebar di Blora dan Bojonegoro, tetapi juga jauh dari tempat itu, dari Madiun hingga Pati. Ki Samin akhirnya ditangkap Belanda, diasingkan ke Sumatra Barat dan meninggal di sana. Hari-hari ini di daerah Pati, para “sedulur sikep” alias Samin diberitakan sedang bertarung dengan PT Semen Gresik, Tbk mempertahankan tanahnya yang akan digusur untuk pendirian pabrik semen baru.

Catatan sejarah lainnya adalah kasus “Dukun Sakti” Mbah Suro di perbatasan Blora-Bojonegoro pada 1967. Peristiwa yang berakhir dengan berdarah-darah, termasuk tewasnya Mbah Suro, dan ditahannya ratusan orang itu sempat menggegerkan Tanah Air.

Selain konflik, Blora dan Bojonegoro sering disebut sebagai “daerah paling miskin di Jawa.” Ini sebenarnya adalah ironi, karena sebenarnya daerah tersebut amat kaya sumber daya alam. Dalam bukunya The History of Java (terbit 1817), Sir Thomas Stamford Raffles pun mengakui betapa daerah Blora, Rembang, dan Bojonegoro adalah daerah penghasil kayu jati terbaik di dunia. Cerita tentang kraton Solo dan Yogya yang menggunakan kayu jati terbaik dari Blora juga sudah banyak diketahui. Tetapi dalam masa yang panjang, dari masa sebelum dan setelah kemerdekaan republik ini, cerita-cerita tentang kemiskinan di Blora dan Bojonegoro sungguh memilukan hati.
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan terkemuka kelahiran Blora, banyak melukiskan kemiskinan di kampung halamannya dalam karya-karyanya. Dalam Tjerita dari Blora,.ia menyebutkan bahwa ada cukup kemakmuran sebelum perang. Tetapi menjelang masuknya tentara Jepang, Blora sudah dipandang sebagai wilayah termiskin di Jawa. Pram menyebut pula bahwa sebab-sebab Blora jatuh miskin adalah karena banyaknya kaum pensiunan yang datang dan menetap di kota kecil itu.
Pemerintah pun tak ada yang memperbaiki sistem perairan sehingga sehingga daerah-daerah pertanian yang luas menjadi kerdil. Puncak kemiskinan terjadi ketika Jepang masuk.
Sementara itu, Dr C.L Penders, pengajar sejarah di Jurusan Sejarah Universitas Queensland, Australia, mengabadikan momen-momen kemiskinan di Bojonegoro dalam bukunya, “Bojonegoro:1900- 1942. A Story of Endemic Poverty in North-East Java” (Gunung Agung, 1984). Penders melukiskan bagaimana bencana terbesar pernah terjadi di Bojonegoro dari tahun 1937 hingga 1940. Banjir selama beberapa bulan merusak semuanya. Hujan memang luar biasa karena terjadi sejak akhir April hingga Agustus 1937. Penyakit malaria dan kelaparan merajalela di kalangan penduduk desa-desa daerah itu, terutama di Baureno. Gubernur van der Plas mengirim bantuan darurat 50.000 gulden pada awal 1937, lalu menaikkan hingga 211.000 gulden pada akhir tahun. Ribuan paket bantuan dibagikan kepada penduduk. Data April 1939 menyebut, 10.205 orang memperoleh bantuan. Tercatat 776 orang dirawat di rumahsakit, 104 orang di antaranya kemudian meninggal.

SEJARAH KOTA BLORA



SEJARAH KOTA BLORA DAN PERKEMBANGANNYA
Alkisah menurut cerita hikayat rakyat Blora berasal dari kata BELOR yang berarti Lumpur, kemudian berkembang menjadi mbeloran yang akhirnya sampai sekarang lebih dikenal dengan nama BLORA. Secara etimologi Blora berasal dari kata WAI + LORAH. Wai berarti air, dan Lorah berarti jurang atau tanah rendah. Dalam bahasa Jawa sering terjadi pergantian atau pertukaran huruf W dengan huruf B, tanpa menyebabkan perubahan arti kata.Sehingga seiring dengan perkembangan zaman kata WAILORAH menjadi BAILORAH, dari BAILORAH menjadi BALORA dan kata BALORA akhirnya menjadi BLORA. Jadi nama BLORA berarti tanah rendah berair, ini dekat sekali dengan pengertian tanah berlumpur.

Blora Era Kerajaan
Blora dibawah Kadipaten Jipang.Blora di bawah Pemerintahan Kadipaten Jipang pada abad XVI, yang pada saat itu masih dibawah pemerintahan Demak. Adipati Jipang pada saat itu bernama Aryo Penangsang, yang lebih dikenal dengan nama Aria Jipang. Daerah kekuasaan meliputi : Pati, Lasem, Blora, dan Jipang sendiri. Akan tetapi setelah Jaka Tingkir (Hadiwijaya) mewarisi tahta Demak pusat pemerintahan dipindah ke Pajang. Dengan demikian Blora masuk Kerajaan Pajang.

Blora dibawah Kerajaan Mataram
Kerajaan Pajang tidak lama memerintah, karena direbut oleh Kerajaan Mataram yang berpusat di Kotagede Yogyakarta. Blora termasuk wilayah Mataram bagian Timur atau daerah Bang Wetan. Pada masa pemerintahan Paku Buwana I (1704-1719 ) daerah Blora diberikan kepada puteranya yang bernama Pangeran Blitar dan diberi gelar Adipati. Luas Blora pada saat itu 3.000 karya (1 karya = ¾ hektar ). Pada tahun 1719-1727 Kerajaan Mataram dipimpin oleh Amangkurat IV, sehingga sejak saat itu Blora berada di bawah pemerintahan Amangkurat IV.

Blora di Jaman Perang Mangkubumi (tahun 1727 - 1755)
Pada saat Mataram di bawah Paku Buwana II (1727-1749) terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Mangku Bumi dan Mas Sahid, Mangku Bumi berhasil menguasai Sukawati, Grobogan, Demak, Blora, dan Yogyakarta. Akhirnya Mangku Bumi diangkat oleh rakyatnya menjadi Raja di Yogyakarta. Berita dari Babad Giyanti dan Serat Kuntharatama menyatakan bahwa Mangku Bumi menjadi Raja pada tanggal 1 Sura tahun Alib 1675, atau 11 Desember 1749. Bersamaan dengan diangkatnya Mangku Bumi menjadi Raja, maka diangkat pula para pejabat yang lain, diantaranya adalah pemimpin prajurit Mangkubumen, Wilatikta, menjadi Bupati Blora.

Blora dibawah Kasultanan
Perang Mangku Bumi diakhiri dengan perjanjian Giyanti, tahun 1755, yang terkenal dengan nama palihan negari, karena dengan perjanjian tersebut Mataram terbagi menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Surakarta di bawah Paku Buwana III, sedangkan Yogyakarta di bawah Sultan Hamengku Buwana I. Di dalam Palihan Negari itu, Blora menjadi wilayah Kasunanan sebagai bagian dari daerah Mancanegara Timur, Kasunanan Surakarta. Akan tetapi Bupati Wilatikta tidak setuju masuk menjadi daerah Kasunanan, sehingga beliau pilih mundur dari jabatannya

Blora sebagai Kabupaten
Sejak zaman Pajang sampai dengan zaman Mataram Kabupaten Blora merupakan daerah penting bagi Pemerintahan Pusat Kerajaan, hal ini disebabkan karena Blora terkenal dengan hutan jatinya. Blora mulai berubah statusnya dari apanage menjadi daerah Kabupaten pada hari Kamis Kliwon, tanggal 2 Sura tahun Alib 1675, atau tanggal 11 Desember 1749 Masehi, yang sampai sekarang dikenal dengan HARI JADI KABUPATEN BLORA. Adapun Bupati pertamanya adalah WILATIKTA.

CERITA dan LEGEND
Alkisah, bertuturlah H.J. De Graaf dan TH. Pigeaud, dalam bukunya, “Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI” (De Eerte Moslimse Vorstendommen op Java, Studiwen Over de Staatkundige Geschiedenis de 15 de en 16 de Eeuw, KITLV, Leiden, 1974). Ia bercerita, daerah Blora di masa lalu disebut Mendang Kamulan. Itulah tempat yang dalam mitos Jawa sering disebut sebagai tempat asal keturunan raja-raja Jawa tertua.


Kedua ilmuwan Belanda itu juga bertutur, daerah dan kerajaan-kerajaan di daerah Blora dan Bojonegoro sekarang berperan penting dalam legenda sejarah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam berbagai riwayat diberitakan bahwa Blora adalah wilayah tempat tinggal seorang pandai dari zaman bahari bernama Arung Bondan. Tampaknya tokoh ini adalah seorang arsitek, nenek moyang para patih dan pejabat raja-raja di zaman kuno. Menurut yang empunya cerita, Mendang Kamulan, sebuah negeri dalam dunia dongeng, terletak di Blora ini. Sedang Bojonegoro konon tempat tinggal seorang putra raja bernama Angling Darma yang mengerti bahasa hewan. Anda pernah mendengar nama Empu Baradah? Empu yang membagi wilayah Daha dan Kediri dengan mengucurkan air kendi saktinya dari udara – menurut legenda – itu juga tinggal di Blora.
(Jangan heran kalau anak-anak cucunya jadi orang-orang cerdik pandai yang kesohor di jagat raya)


Namun Blora dan Bojonegoro juga kaya kisah konflik. Tidak perlu heran manakala tempo hari Pertamina dan ExxonMobile berebut ladang minyak Blok Cepu, yang akhirnya Pertamina kalah. Konflik antara Jaka Tingkir, menantu Sultan Demak Trenggana, dan Arja Penangsang dari Jipang (Cepu sekarang) pada abad ke-16, yang berakhir dengan terbunuhnya Arja Penangsang, sudah sangat terkenal. Pigeaud, dengan sumber yang digunakan Raffles, menulis bahwa Kerajaan Blora di dekat Jipang menjadi daerah perebutan. Senapati Mataram merasa mempunyai hak pemerintahan tertinggi di daerah itu, sedangkan Surabaya menempatkan bupatinya di sana. “Mungkin pendudukan Blora pada tahun 1554 itu merupakan episode dalam peperangan antara Raja Pajang dan keluarga Raja Jipang. Pertempuran memperebutkan Sudah dan Sudu di sebelah barat Bojonegoro merupakan episode serupa,” tulis De Graaf dan Pigeaud.


Dalam sejarah modernnya, Blora dan Bojonegoro juga mencatat suatu konflik yang menarik. Tokoh besar Samin Surosentiko dari Desa Klopoduwur di Blora memusingkan pihak berwenang Hindia Belanda di awal abad ke-20 melalui ajaran-ajaran perlawanan tanpa kekerasan, di antaranya menolak membayar pajak. Ajaran Samin menyebar di Blora dan Bojonegoro, tetapi juga jauh dari tempat itu, dari Madiun hingga Pati. Ki Samin akhirnya ditangkap Belanda, diasingkan ke Sumatra Barat dan meninggal di sana. Hari-hari ini di daerah Pati, para “sedulur sikep” alias Samin diberitakan sedang bertarung dengan PT Semen Gresik, Tbk mempertahankan tanahnya yang akan digusur untuk pendirian pabrik semen baru.

Catatan sejarah lainnya adalah kasus “Dukun Sakti” Mbah Suro di perbatasan Blora-Bojonegoro pada 1967. Peristiwa yang berakhir dengan berdarah-darah, termasuk tewasnya Mbah Suro, dan ditahannya ratusan orang itu sempat menggegerkan Tanah Air.

Selain konflik, Blora dan Bojonegoro sering disebut sebagai “daerah paling miskin di Jawa.” Ini sebenarnya adalah ironi, karena sebenarnya daerah tersebut amat kaya sumber daya alam. Dalam bukunya The History of Java (terbit 1817), Sir Thomas Stamford Raffles pun mengakui betapa daerah Blora, Rembang, dan Bojonegoro adalah daerah penghasil kayu jati terbaik di dunia. Cerita tentang kraton Solo dan Yogya yang menggunakan kayu jati terbaik dari Blora juga sudah banyak diketahui. Tetapi dalam masa yang panjang, dari masa sebelum dan setelah kemerdekaan republik ini, cerita-cerita tentang kemiskinan di Blora dan Bojonegoro sungguh memilukan hati.
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan terkemuka kelahiran Blora, banyak melukiskan kemiskinan di kampung halamannya dalam karya-karyanya. Dalam Tjerita dari Blora,.ia menyebutkan bahwa ada cukup kemakmuran sebelum perang. Tetapi menjelang masuknya tentara Jepang, Blora sudah dipandang sebagai wilayah termiskin di Jawa. Pram menyebut pula bahwa sebab-sebab Blora jatuh miskin adalah karena banyaknya kaum pensiunan yang datang dan menetap di kota kecil itu.
Pemerintah pun tak ada yang memperbaiki sistem perairan sehingga sehingga daerah-daerah pertanian yang luas menjadi kerdil. Puncak kemiskinan terjadi ketika Jepang masuk.
Sementara itu, Dr C.L Penders, pengajar sejarah di Jurusan Sejarah Universitas Queensland, Australia, mengabadikan momen-momen kemiskinan di Bojonegoro dalam bukunya, “Bojonegoro:1900- 1942. A Story of Endemic Poverty in North-East Java” (Gunung Agung, 1984). Penders melukiskan bagaimana bencana terbesar pernah terjadi di Bojonegoro dari tahun 1937 hingga 1940. Banjir selama beberapa bulan merusak semuanya. Hujan memang luar biasa karena terjadi sejak akhir April hingga Agustus 1937. Penyakit malaria dan kelaparan merajalela di kalangan penduduk desa-desa daerah itu, terutama di Baureno. Gubernur van der Plas mengirim bantuan darurat 50.000 gulden pada awal 1937, lalu menaikkan hingga 211.000 gulden pada akhir tahun. Ribuan paket bantuan dibagikan kepada penduduk. Data April 1939 menyebut, 10.205 orang memperoleh bantuan. Tercatat 776 orang dirawat di rumahsakit, 104 orang di antaranya kemudian meninggal.

Kesenian Tayub berasal dari kata di toto ben guyub. Kalau diartikan secara bebas di bahasa Indonesia adalah ditata agar menjadi rukun.

Tayub Blora

Kesenian Tayub berasal dari kata di toto ben guyub. Kalau diartikan secara bebas di bahasa Indonesia adalah ditata agar menjadi rukun.
Seni barong atau pada sehari hari nya di sebut kesenian Barongan sebenarnya merupakan kesenian khas dari daerah Jawa Tengah. Akan tetapi kalau boleh jujur secara kuantitas  di Kabupaten Blora paling banyak jumlahnya di bandingkan daerah  lain.
Seni barongan di kabupaten Blora berkembang pesat sekali. Di setiap desa bisa dipastikan ada kelompok barongan, bahkan bukan hanya dari kalangan dewasa saja yang memainkan akan tetapi kalangan anak - anak pun banyak yang pintar dan piawai memainkan barongan.

Seni Barongan

Seni barong atau pada sehari hari nya di sebut kesenian Barongan sebenarnya merupakan kesenian khas dari daerah Jawa Tengah. Akan tetapi kalau boleh jujur secara kuantitas  di Kabupaten Blora paling banyak jumlahnya di bandingkan daerah  lain.
Seni barongan di kabupaten Blora berkembang pesat sekali. Di setiap desa bisa dipastikan ada kelompok barongan, bahkan bukan hanya dari kalangan dewasa saja yang memainkan akan tetapi kalangan anak - anak pun banyak yang pintar dan piawai memainkan barongan.