Rabu, 20 Maret 2013

SEJARAH KOTA BLORA



SEJARAH KOTA BLORA DAN PERKEMBANGANNYA
Alkisah menurut cerita hikayat rakyat Blora berasal dari kata BELOR yang berarti Lumpur, kemudian berkembang menjadi mbeloran yang akhirnya sampai sekarang lebih dikenal dengan nama BLORA. Secara etimologi Blora berasal dari kata WAI + LORAH. Wai berarti air, dan Lorah berarti jurang atau tanah rendah. Dalam bahasa Jawa sering terjadi pergantian atau pertukaran huruf W dengan huruf B, tanpa menyebabkan perubahan arti kata.Sehingga seiring dengan perkembangan zaman kata WAILORAH menjadi BAILORAH, dari BAILORAH menjadi BALORA dan kata BALORA akhirnya menjadi BLORA. Jadi nama BLORA berarti tanah rendah berair, ini dekat sekali dengan pengertian tanah berlumpur.

Blora Era Kerajaan
Blora dibawah Kadipaten Jipang.Blora di bawah Pemerintahan Kadipaten Jipang pada abad XVI, yang pada saat itu masih dibawah pemerintahan Demak. Adipati Jipang pada saat itu bernama Aryo Penangsang, yang lebih dikenal dengan nama Aria Jipang. Daerah kekuasaan meliputi : Pati, Lasem, Blora, dan Jipang sendiri. Akan tetapi setelah Jaka Tingkir (Hadiwijaya) mewarisi tahta Demak pusat pemerintahan dipindah ke Pajang. Dengan demikian Blora masuk Kerajaan Pajang.

Blora dibawah Kerajaan Mataram
Kerajaan Pajang tidak lama memerintah, karena direbut oleh Kerajaan Mataram yang berpusat di Kotagede Yogyakarta. Blora termasuk wilayah Mataram bagian Timur atau daerah Bang Wetan. Pada masa pemerintahan Paku Buwana I (1704-1719 ) daerah Blora diberikan kepada puteranya yang bernama Pangeran Blitar dan diberi gelar Adipati. Luas Blora pada saat itu 3.000 karya (1 karya = ¾ hektar ). Pada tahun 1719-1727 Kerajaan Mataram dipimpin oleh Amangkurat IV, sehingga sejak saat itu Blora berada di bawah pemerintahan Amangkurat IV.

Blora di Jaman Perang Mangkubumi (tahun 1727 - 1755)
Pada saat Mataram di bawah Paku Buwana II (1727-1749) terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Mangku Bumi dan Mas Sahid, Mangku Bumi berhasil menguasai Sukawati, Grobogan, Demak, Blora, dan Yogyakarta. Akhirnya Mangku Bumi diangkat oleh rakyatnya menjadi Raja di Yogyakarta. Berita dari Babad Giyanti dan Serat Kuntharatama menyatakan bahwa Mangku Bumi menjadi Raja pada tanggal 1 Sura tahun Alib 1675, atau 11 Desember 1749. Bersamaan dengan diangkatnya Mangku Bumi menjadi Raja, maka diangkat pula para pejabat yang lain, diantaranya adalah pemimpin prajurit Mangkubumen, Wilatikta, menjadi Bupati Blora.

Blora dibawah Kasultanan
Perang Mangku Bumi diakhiri dengan perjanjian Giyanti, tahun 1755, yang terkenal dengan nama palihan negari, karena dengan perjanjian tersebut Mataram terbagi menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Surakarta di bawah Paku Buwana III, sedangkan Yogyakarta di bawah Sultan Hamengku Buwana I. Di dalam Palihan Negari itu, Blora menjadi wilayah Kasunanan sebagai bagian dari daerah Mancanegara Timur, Kasunanan Surakarta. Akan tetapi Bupati Wilatikta tidak setuju masuk menjadi daerah Kasunanan, sehingga beliau pilih mundur dari jabatannya

Blora sebagai Kabupaten
Sejak zaman Pajang sampai dengan zaman Mataram Kabupaten Blora merupakan daerah penting bagi Pemerintahan Pusat Kerajaan, hal ini disebabkan karena Blora terkenal dengan hutan jatinya. Blora mulai berubah statusnya dari apanage menjadi daerah Kabupaten pada hari Kamis Kliwon, tanggal 2 Sura tahun Alib 1675, atau tanggal 11 Desember 1749 Masehi, yang sampai sekarang dikenal dengan HARI JADI KABUPATEN BLORA. Adapun Bupati pertamanya adalah WILATIKTA.

CERITA dan LEGEND
Alkisah, bertuturlah H.J. De Graaf dan TH. Pigeaud, dalam bukunya, “Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI” (De Eerte Moslimse Vorstendommen op Java, Studiwen Over de Staatkundige Geschiedenis de 15 de en 16 de Eeuw, KITLV, Leiden, 1974). Ia bercerita, daerah Blora di masa lalu disebut Mendang Kamulan. Itulah tempat yang dalam mitos Jawa sering disebut sebagai tempat asal keturunan raja-raja Jawa tertua.


Kedua ilmuwan Belanda itu juga bertutur, daerah dan kerajaan-kerajaan di daerah Blora dan Bojonegoro sekarang berperan penting dalam legenda sejarah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam berbagai riwayat diberitakan bahwa Blora adalah wilayah tempat tinggal seorang pandai dari zaman bahari bernama Arung Bondan. Tampaknya tokoh ini adalah seorang arsitek, nenek moyang para patih dan pejabat raja-raja di zaman kuno. Menurut yang empunya cerita, Mendang Kamulan, sebuah negeri dalam dunia dongeng, terletak di Blora ini. Sedang Bojonegoro konon tempat tinggal seorang putra raja bernama Angling Darma yang mengerti bahasa hewan. Anda pernah mendengar nama Empu Baradah? Empu yang membagi wilayah Daha dan Kediri dengan mengucurkan air kendi saktinya dari udara – menurut legenda – itu juga tinggal di Blora.
(Jangan heran kalau anak-anak cucunya jadi orang-orang cerdik pandai yang kesohor di jagat raya)


Namun Blora dan Bojonegoro juga kaya kisah konflik. Tidak perlu heran manakala tempo hari Pertamina dan ExxonMobile berebut ladang minyak Blok Cepu, yang akhirnya Pertamina kalah. Konflik antara Jaka Tingkir, menantu Sultan Demak Trenggana, dan Arja Penangsang dari Jipang (Cepu sekarang) pada abad ke-16, yang berakhir dengan terbunuhnya Arja Penangsang, sudah sangat terkenal. Pigeaud, dengan sumber yang digunakan Raffles, menulis bahwa Kerajaan Blora di dekat Jipang menjadi daerah perebutan. Senapati Mataram merasa mempunyai hak pemerintahan tertinggi di daerah itu, sedangkan Surabaya menempatkan bupatinya di sana. “Mungkin pendudukan Blora pada tahun 1554 itu merupakan episode dalam peperangan antara Raja Pajang dan keluarga Raja Jipang. Pertempuran memperebutkan Sudah dan Sudu di sebelah barat Bojonegoro merupakan episode serupa,” tulis De Graaf dan Pigeaud.


Dalam sejarah modernnya, Blora dan Bojonegoro juga mencatat suatu konflik yang menarik. Tokoh besar Samin Surosentiko dari Desa Klopoduwur di Blora memusingkan pihak berwenang Hindia Belanda di awal abad ke-20 melalui ajaran-ajaran perlawanan tanpa kekerasan, di antaranya menolak membayar pajak. Ajaran Samin menyebar di Blora dan Bojonegoro, tetapi juga jauh dari tempat itu, dari Madiun hingga Pati. Ki Samin akhirnya ditangkap Belanda, diasingkan ke Sumatra Barat dan meninggal di sana. Hari-hari ini di daerah Pati, para “sedulur sikep” alias Samin diberitakan sedang bertarung dengan PT Semen Gresik, Tbk mempertahankan tanahnya yang akan digusur untuk pendirian pabrik semen baru.

Catatan sejarah lainnya adalah kasus “Dukun Sakti” Mbah Suro di perbatasan Blora-Bojonegoro pada 1967. Peristiwa yang berakhir dengan berdarah-darah, termasuk tewasnya Mbah Suro, dan ditahannya ratusan orang itu sempat menggegerkan Tanah Air.

Selain konflik, Blora dan Bojonegoro sering disebut sebagai “daerah paling miskin di Jawa.” Ini sebenarnya adalah ironi, karena sebenarnya daerah tersebut amat kaya sumber daya alam. Dalam bukunya The History of Java (terbit 1817), Sir Thomas Stamford Raffles pun mengakui betapa daerah Blora, Rembang, dan Bojonegoro adalah daerah penghasil kayu jati terbaik di dunia. Cerita tentang kraton Solo dan Yogya yang menggunakan kayu jati terbaik dari Blora juga sudah banyak diketahui. Tetapi dalam masa yang panjang, dari masa sebelum dan setelah kemerdekaan republik ini, cerita-cerita tentang kemiskinan di Blora dan Bojonegoro sungguh memilukan hati.
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan terkemuka kelahiran Blora, banyak melukiskan kemiskinan di kampung halamannya dalam karya-karyanya. Dalam Tjerita dari Blora,.ia menyebutkan bahwa ada cukup kemakmuran sebelum perang. Tetapi menjelang masuknya tentara Jepang, Blora sudah dipandang sebagai wilayah termiskin di Jawa. Pram menyebut pula bahwa sebab-sebab Blora jatuh miskin adalah karena banyaknya kaum pensiunan yang datang dan menetap di kota kecil itu.
Pemerintah pun tak ada yang memperbaiki sistem perairan sehingga sehingga daerah-daerah pertanian yang luas menjadi kerdil. Puncak kemiskinan terjadi ketika Jepang masuk.
Sementara itu, Dr C.L Penders, pengajar sejarah di Jurusan Sejarah Universitas Queensland, Australia, mengabadikan momen-momen kemiskinan di Bojonegoro dalam bukunya, “Bojonegoro:1900- 1942. A Story of Endemic Poverty in North-East Java” (Gunung Agung, 1984). Penders melukiskan bagaimana bencana terbesar pernah terjadi di Bojonegoro dari tahun 1937 hingga 1940. Banjir selama beberapa bulan merusak semuanya. Hujan memang luar biasa karena terjadi sejak akhir April hingga Agustus 1937. Penyakit malaria dan kelaparan merajalela di kalangan penduduk desa-desa daerah itu, terutama di Baureno. Gubernur van der Plas mengirim bantuan darurat 50.000 gulden pada awal 1937, lalu menaikkan hingga 211.000 gulden pada akhir tahun. Ribuan paket bantuan dibagikan kepada penduduk. Data April 1939 menyebut, 10.205 orang memperoleh bantuan. Tercatat 776 orang dirawat di rumahsakit, 104 orang di antaranya kemudian meninggal.

0 komentar:

Posting Komentar